Webinar Gugur Gunung 11 “Tradisi Kidung: Sejarah dan Keunikan Kidung Surajaya”

Sabtu (18/12/2021), program studi Sastra Jawa menggelar sebuah webinar yang bertajuk “Tradisi Kidung: Sejarah dan Keunikan Kidung Surajaya.” Webinar tersebut merupakan satu dari dua webinar yang digelar dalam rangka memeriahkan ulang tahun program studi Sastra Jawa. Webinar tersebut terdapat dalam salah satu rangkaian acara Gugur Gunung ke-11. Webinar hari pertama yang digelar tersebut dimoderatori oleh Refiana Nur Pawesti, mahasiswa Sastra Jawa Angkatan 2020. Penyampaian materi disampaikan oleh salah satu dosen Sastra Jawa yang ahli dalam bidang tersbut, yaitu Yosephin Apriastuti Rahayu, S.S., M.Hum.

Pada webinar hari pertama ini, dijelaskan bahwa Kidung Surajaya sebelumnya pernah diteliti oleh Ibu Kartika Setyawati, dosen Sastra Jawa, Universitas Gadjah Mada. Kidung tersebut diteliti sebagai disertasi yang harus beliau selesaikan. Pada awal webinar Ibu Apriastuti menjelaskan karakteristik kidung menurut Zoetmulder dalam Kalangwan. Salah satu dari pendapat Zoetmulder yang dikemukakan oleh Ibu Apriastuti adalah kebanyakan kidung di tulis di Bali. Zoetmulder juga mengungkapkan bahwa kidung biasanya hanya mengambil cuplikan-cuplikan cerita.

Ibu Apriastuti menjelaskan bahwa Kidung Surajaya ini termasuk dalam koleksi naskah merapi-merbabu yang hanya ditemukan di Pepustakaan Nasional RI. Terdapat tujuh pupuh dengan pola metrum macapat. Ditulis pada abad 17 berdasarkan kolofon lontar versi panjang yang beraksara Buda dan berbahasa Jawa Pertengahan. Dalam hal panjang dan pendek teks, Kidung Surajaya terdiri atas dua versi, versi Panjang (naskah D, F, H) dan versi pendek (naskah B, E, G, I, J). Teks versi panjang tertuang dalam sekitar 87 lempir dengan panjang kira-kira 798 bait. Sedangkan versi pendeknya termuat dalam 4-14 lempir.

Secara ringkas, Kidung Surajaya berisi tentang perjalanan Ki Singamada yang bersedih hati sepeninggal orang tuanya. Adapun hal yang menonjol dari Kidung Surajaya yaitu nasihat para pengajar dan kisah perjalanan sang tokoh, lukisan alam, upacara penahbisan Surajaya, jenis flora dan fauna, sirih, makanan dan minuman yang dihidangkan, alat penanda waktu, dan lain-lain. Pada kidung tersebut, dapat pula dilihat pola bertani masyarakat, keadaan alam sekitar, jenis bunga, karakteristik perempuan pada masa lalu, dan masih banyak lagi.

Jika mengamati dan mengkaji dengan lebih teliti, dapat ditemui pula makna tersirat dari nama para tokoh, misalnya nama Surawani/Surajaya yang bermakna orang yang berani dan menang, sedangkan nama Hantakarana Ragasamaya bermakna raga yang bertangguh samaya.

Setelah dipelajari, dapat disimpulkan bahwa tujuan penulisan dari Kidung Surajaya adalah sebagai penghibur hari, mengurangi kesedihan, menampilkan hakikat cinta, mengubah keindahan dan ekspresi diri, dan melambungkan pujian. Berdasarkan hal yang telah dibaca serta dimaknai bersama, Kidung Surajaya memang memberikan banyak hal baik untuk dijadikan sebagai cerminan dalam hidup. Keunikan serta nasihat hidup yang ada didalamnya menjadikan kidung tersebut sebagai salah satu kidung yang layak untuk dikaji lebih lanjut.