Jumat (23/09/2022), Program Studi Sastra Jawa berhasil menyelenggarakan kuliah umum dengan topik “Yogyakarta << Versailles of Java >> Architectural History and the Making of Heritage City” yang bertempat di gedung Soegondo ruang 709, Fakultas Ilmu budaya, Universitas Gadjah Mada. Kuliah umum ini berlangsung pada pukul 13.00 hingga 15.00 WIB dan dihadiri oleh mahasiswa Prodi Sastra Jawa UGM yang tertarik dan antusias dengan kesejarahan arsitektur Jawa Kota Yogyakarta.
Kuliah umum tersebut dipandu oleh Nurmalia Habibah, S.S., M.A., dosen Sastra Jawa UGM bidang studi filologi, sebagai Master of Ceremony (MC) dan Imam Prakoso, S.S., M.A., dosen Sastra Jawa UGM bidang studi linguistik, bertindak sebagai moderator.
Pemateri pada acara ini adalah Dr. Helene Njoto, seorang peneliti dengan spesialisasi dalam sejarah seni dan arsitektur modern awal Indonesia, khususnya pada periode Islam awal dan awal kolonial (sekitar abad 15 hingga paruh pertama abad ke-19). Sejak tahun 2021, beliau menjadi bagian dari École Française d'Extrême-Orient (EFEO) di Jakarta, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Prancis yang mempelajari peradaban klasik Asia melalui humaniora dan ilmu sosial.
(Dr. Helene Njoto (pada bagian tengah) sedang memaparkan materi)
Dalam seminar ini, Dr. Helene Njoto, memberikan paparan kepada peserta mengenai arsitektur kota Yogyakarta sebelum meletusnya Perang Diponegoro. “Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1833, Yogyakarta dalam keadaan sangat runtuh. Namun, dari reruntuhan tersebut dapat ditebak bahwa Kota Yogyakarta sempat menjadi kerajaan yang luar biasa. Meskipun tidak sampai 1/10 dari kejayaannya yang tersisa, tetapi kejayaan Yogyakarta dapat dilihat dari banyaknya reruntuhan batu besar. Bahkan dalam catatan Carel Sirardus William van Hogendrop, Gubernur Jenderal Hindia ke-46, Yogyakarta disebut sebagai Versailles of Java.” ungkap beliau.
Selain itu, Dr. Helene Njoto juga menyoroti fakta menarik bahwa Taman Sari, salah satu destinasi wisata kota Yogyakarta, merupakan karya arsitek Jawa bukan arsitek Portugis. “Sekitar 2 tahun lalu, diceritakan bahwa Taman Sari dibangun oleh arsitek Portugis dengan alasan Taman Sari dibangun dengan batu bata dan spesi. Batu bata dan spesi dinilai dengan sangat berbeda dengan arsitektur kayu yang identik dengan arsitektur Jawa, Namun jika diteliti lebih seksama, kenyataannya bukan seperti itu.” terang beliau.
Beliau melanjutkan, “Penguasa pertama Yogyakarta, yaitu Pangeran Mangkubumi, merupakan pembangun situs konstruksi terbesar oleh penguasa Jawa hingga saat ini, yaitu Taman Sari. Taman Sari yang sebenarnya itu luas dan yang saat ini hanya tersisa 1/3 saja, sisanya hilang. Taman Sari mulai dibangun pada awal 1750-an dengan luas sekitar 80 meter persegi, ke arah tenggara pusat Keraton Yogyakarta. Arsitek Taman Sari adalah Pangeran Mangundipura. Pangeran Mangundipura bahkan mengunjungi Batavia dua kali untuk mencari inspirasi dalam pembangunan Taman Sari.”
Setelah pemaparan Dr. Helene Njoto selesai, moderator membuka sesi pertanyaan. Para peserta kuliah umum ini menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan mengajukan berbagai pertanyaan terkait arsitektur Jawa.
Dr. Helene Njoto memberikan pesan kepada mahasiswa agar mau mengunjungi situs-situs peninggalan masa lampau. “Untuk mahasiswa sastra, tentunya banyak hal dan unsur yang dapat ditangkap. Bukan hanya yang terdapat dalam naskah, tetapi juga tergambar pada peninggal, yakni pada reliefnya. Oleh karena itu, jangan ragu untuk pergi ke lapangan. Mumpung masih muda dan mumpung situs-situs tersebut masih ada dan dapat dikunjungi.”
Dengan diselenggarakannya kuliah umum ini, diharapkan dapat membangkitkan motivasi dan membuka wawasan peserta mengenai arsitektur Jawa, terutama bagi mereka yang tertarik untuk menjadikannya sebagai objek penelitian.
"Semoga kuliah umum ini dapat menambah wawasan kita tentang betapa megahnya arsitektur Jawa dan juga dapat menjadi motivasi, terutama bagi teman-teman mahasiswa yang akan menjadikan arsitektur Jawa sebagai objek penelitian," ujar Imam Prakoso, S.S., M.Hum., dalam sesi penutupan kuliah umum tersebut.