Kecamatan Bayat yang termasuk Kabupaten Klaten terletak di sudut selatan wilayah ini, berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Kecamatan Cawas di sebelah timur, Kecamatan Wedi di sebelah barat dan Kecamatan Trucuk di sebelah utara. Kecamatan Bayat terletak di daerah pegunungan kapur yang sejalur dengan wilayah Gunungkidul, sehingga penampakan wilayahnya berbukit-bukit dan mayoritas warganya tidak menggantungkan diri dari bertani, melainkan banyak yang berprofesi sebagai perajin, mulai dari gerabah, berbagai macam peralatan dari batu, sampai kain batik.
Kecamatan Bayat dalam lintasan sejarah termasuk wilayah yang penting meskipun tidak terletak di pusat pemerintahan. Hal ini tampak dari berbagai cerita tentang wilayah ini, yang banyak dikaitkan dengan tokoh yang hidup sekitar abad ke-16, yang bernama Ki Ageng Pandanaran. Beliau adalah seorang bupati Semarang yang mengundurkan diri dari kekuasaannya dan memilih untuk menyebarkan agama Islam dengan gelar Sunan Tembayat di daerah ini hingga akhir hayatnya. Selain adanya tokoh Sunan Tembayat, daerah ini juga memiliki banyak tokoh historis lain yang berasal dari peralihan era Majapahit ke Demak Bintara, seperti Seh Sabuk Janur, Ki Ageng Becik, Seh Domba, Ki Ageng Konang, Ki Ageng Menang Lase, Ki Ageng Santri, Pangeran Menangkabo dan Panembahan Jiwa. Mereka memiliki ceritanya masing-masing dalam konteks peranannya sebagai pemimpin masyarakat lokal sejak zaman Demak, Mataram hingga pecahnya menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini, selain usianya yang tua, juga memiliki tempat tersendiri dalam dinamika sejarah.
Kecamatan Bayat memiliki kurang lebih sepuluh sentra industri batik dengan kekhasan dan spesialisasi sendiri-sendiri. Beberapa sentra produksi batik di kecamatan Bayat di antaranya adalah batik cap di Desa Beluk, batik tulis di Desa Jarum dan Desa Kebon serta batik tenun lurik di Desa Tegalrejo. Industri batik di Bayat telah bersifat turun-temurun dan menjadi salah satu daerah pemasok kain batik untuk pasar Klewer di Surakarta dan Beringharjo di Yogyakarta sejak beberapa dekade yang lalu. Batik yang dihasilkan di daerah Bayat sendiri memiliki banyak ragam, mulai dari batik klasik yang memiliki ciri khas warna sogan untuk jarit atau nyamping, batik modern dengan warna-warna alam seperti nila (indigovera), motif-motif kontemporer untuk konsumsi fashion dan selera pembeli internasional, hingga batik kombinasi lurik dan batik di media selain kain seperti batik kayu, batik kulit dan lain sebagainya.
Sebagai sebuah daerah yang kental dengan nuansa sejarah, Kecamatan Bayat tentu menyimpan banyak sekali kearifan lokal di antaranya yang berbentuk tradisi kidungan, mantra, doa-doa, rajah dan petuah-petuah bijak yang berguna bagi masyarakat untuk menyikapi berbagai fenomena kehidupan di masa kini dan mengantisipasi hal-hal yang dapat terjadi di masa depan. Selain itu, banyaknya petilasan atau tapak sejarah banyak tokoh baik dari era Hindu, Islam hingga kerajaan-kerajaan Jawa yang terakhir di wilayah ini menunjukkan bahwa tentu saja akan banyak ditemukan berbagai cerita rakyat terkait dengannya, yang selain dapat berfungsi sebagai media pengingat sejarah juga memuat berbagai nilai-nilai kebudayaan. Selain itu, wilayah Bayat juga menjadi salah satu bagian penting dari sejarah sastra Jawa, karena di gerbang makam Sunan Tembayat ditemukan pula sengkalan atau kronogram, berbunyi Murti Sarira Jleging Ratu (1448) dan Wisaya Hanata Wisiking Ratu (1555), yang gaya hurufnya termasuk arkais, sezaman dengan naskah-naskah yang ditemukan di wilayah pesisir, di antaranya Primbon Sunan Bonang yang disimpan di Perpustakaan Asian Library, Leiden University. Hal-hal ini belum terekspos secara optimal terlebih dalam kaitannya dengan Bayat sebagai salah satu sentra industri kerajinan di Klaten. Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) yang dilakukan oleh Prodi Sastra Jawa, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta kali ini akan memfokuskan diri kepada pengembangan motif batik bermuatan cerita rakyat dan kearifan lokal dengan media tulisan Jawa, baik gaya Jawa modern yang dikenal sekarang ini maupun ‘gaya Sunan Tembayat’ yang tergambar pada kompleks makam kuno di daerah ini.
Tujuan PPM Prodi Sastra Jawa di Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten yang dilaksanakan pada 15 Juli 2019 lalu adalah untuk memperkokoh identitas Bayat sebagai destinasi wisata religi dan sejarah, pusat industri UMKM (Usaha Kecil, Mikro dan Menengah) di bidang kerajinan sekaligus sebagai salah satu wilayah dengan kekhasan tersendiri di bidang kebudayaan, selain itu juga untuk membentuk kelompok masyarakat pengelola potensi seni budaya dan sejarah di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Hasil yang diharapkan dalam kegiatan pengabdian adalah Kecamatan Bayat sebagai Wilayah Binaan Prodi, lebih khususnya untuk memperkokoh eksistensi Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten sebagai wilayah yang memiliki karakter kebudayaan yang khas dan berakar kuat.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan ‘Pengabdian kepada Masyarakat: Pengembangan Motif Batik Berbasis Cerita Rakyat dan Aksara Jawa di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten’ ini adalah terciptanya motif batik ‘Udan Riris Majaarum’. Motif tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai motif batik ciri khas daerah Desa Jarum Kecamatan Bayat. Selain motif batik outcome dari kegiatan ini adalah artikel ‘Penciptaan Motif Baru Identitas Desa Jarum, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten’ yang rencananya akan diterbitkan di Jurnal Bakti Budaya dan dokumentasi kegiatan.