Yogyakarta (10/01/2023) – Senin, 28 November 2022 menjadi momen bersejarah bagi Program Studi Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM). Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1286/UN1.P/KPT/HUKOR/2022, Program Studi Sastra Jawa secara resmi mengubah namanya menjadi Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa.
Perubahan nama Program Studi didasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1718/UN1.P/SK/HUKOR/2017 tentang penamaan Program Studi di lingkungan Universitas Gadjah Mada dipandang tidak sesuai dengan perkembangan Program Studi di lingkungan Universitas Gadjah Mada sehingga perlu dicabut dan diterbitkan ketetapan yang baru.
Dalam wawancara dengan Ketua Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Dr. Daru Winarti, M.Hum., beliau menjelaskan, “Jika kita membahas mengenai Jawa, tidak bisa hanya mengandalkan sastra saja, tetapi juga budaya. Di dalam teks-teks Jawa itu tidak hanya berbicara tentang sastra saja, tetapi juga terdapat unsur budaya yang terkandung di dalamnya.”
Pendapat tersebut juga didukung oleh Rudy Wiratama, S.I.P.,M.A., seorang dosen Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa yang berfokus pada bidang studi sastra. Menurutnya, aspek sastra tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya.
“Sastra Jawa tidak hidup dalam ruang hampa. Sastra tersebut hidup dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa. Jika kita mempelajari sastra Jawa, kita tidak hanya membaca naskah-naskah di perpustakaan, karena hidupnya sastra Jawa tidak hanya di sana. Ketika kita mempelajari sastra, secara otomatis kita juga mempelajari budayanya, karena keduanya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan,” jelas Rudy Wiratama S.I.P.,M.A.,.
“Contoh dari hal tersebut adalah mengenai keris. Dengan mempelajari sastra tulisnya, kita dapat mengetahui sejarah keris. Dengan mempelajari sastra lisannya, kita dapat mengetahui tentang pengetehauan dan kepercayaan kepada keris, Contohnya cara memperlakukan keris, keris harus dijamasi pada bulan Sura, dan sebagainya. Tetapi dengan mempelajari budaya, kita dapat mengetahui kapan saat yang tepat untuk memakai keris. Contohnya untuk pengantin, keris yang digunakan ber-warangka Ladrang. Sedangkan untuk perangkat desa, keris yang digunakan ber-warangka Gayaman. Tidak pas jika digunakan secara berkebalikan. Itu salah satu ilustrasi saja” tambah beliau.
Rudy Wiratama, S.I.P.,M.A., juga menambahkan bahwa perubahan nama Program Studi ini berhubungan dengan masa depan mahasiswa.
“Dari waktu ke waktu demografi mahasiswa Prodi Sastra Jawa semakin beragam. Oleh karena itu, perubahan nama prodi juga terkait dengan masa depan mahasiswa. Saat ini, kita tidak bisa lagi memegang pandangan lama bahwa lulusan sastra Jawa akan menjadi guru bahasa daerah. Sebab pemerintah mendirikan PPG atau Pendidikan Profesi Guru yang harus ditempuh ketika anda menjadi guru secara formal yang berarti tidak praktis untuk langsung digunakan. Berbeda dengan orang-orang lulusan PBSD (Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah) di bawah FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Kalau profesi guru itu sudah diwadahi dalam PBSD, lalu lulusan Sastra Jawa iki arep ngapa?”
Beliau melanjutkan, “Pertanyaan ‘lulusan Sastra Jawa iki arep ngapa?’ (lulusan Sastra Jawa mau melakukan apa?) adalah pertanyaan yang menggelitik namun reflektif. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ternyata di luar sana banyak sekali yang membutuhkan sarjana-sarjana yang terampil dan mahir dalam hal-hal yang bersifat Jawa, tidak hanya sastranya. Misalkan, pada KRL (Kereta Rel Listrik) Jogja-Solo, terdapat sebuah pengumuman yang terdiri dari bahasa Indonesia berupa ‘Selamat menikmati perjalanan anda’, dalam bahasa Inggris berupa ‘have a nice trip’, dan dalam bahasa Jawa Krama Inggil berupa ‘Sugeng sekeca lelampah’. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa menjadi Sugeng sekeca lelampah, itu menggelitik karena lelampah dalam bahasa Jawa itu bukan berarti melakukan perjalanan. Lelampah itu artinya sekarat. Itu menjadi bukti bahwa lahan-lahan publik seperti itu butuh orang yang mahir berbahasa Jawa.”
“Contoh lain, ada seorang pejabat tinggi di sebuah Bank milik pemerintah yang menginginkan diadakannya pendidikan bahasa Jawa, terutama untuk costumer service. Hal tersebut dikarenakan nasabah yang dilayani oleh Bank itu 80% berada di pedesaan dan bahasa pertamanya adalah Jawa.” tambah beliau.
Rudy Wiratama, S.I.P.,M.A., menjelaskan bahwa saat ini pemerintah Indonesia sedang mendorong pengembangan industri budaya, karena modal kebudayaan merupakan potensi terbesar yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
“Modal kebudayaan adalah yang paling potensial yang dimiliki masyarakat Indonesia. Modal kebudayaan ini dapat mendorong perkembangan industri kreatif. Modal kebudayaan inilah yang membutuhkan pemahaman budaya mahasiswa Sastra Jawa banyak yang potensial untuk mengisi ruang-ruang tersebut. Contohnya dengan mendirikan perusahaan kuliner tradisional, mendirikan wedding organizer, kemudian mendirikan sanggar tata rias, sanggar tari, pendidikan baca tulis sastra Jawa, dan sebagainya.” terang beliau.
Ketika ditanya tentang kemungkinan dibukanya bidang studi budaya, Rudy Wiratama, S.I.P.,M.A., menyatakan bahwa hal tersebut memungkinkan terjadi.
“Ya, jika kita melihat struktur Program Studi saat ini, ada bahasa/linguistik, sastra, filologi, dan kemungkinan besar akan ada minat terhadap bidang budaya. Karena itu, nantinya akan banyak mata kuliah untuk bidang budaya. Saat ini, telah banyak mata kuliah bersifat pilihan. Ke depannya, bisa saja terdapat mata kuliah kebudayaan yang bersifat wajib. Namun, hal tersebut masih dalam penggodokan.” jelas beliau.
Dr. Daru Winarti, M.Hum., juga mengungkapkan pendapat yang serupa.
“Kemungkinan itu ada. Namun, kalau-pun tidak sampai sana (adanya bidang studi budaya), pembahasan pada bidang studi filologi, linguistik, dan sastra pasti dikaitkan dari sisi kebudayaan sehingga pembahasan tersebut menjadi lengkap.”
Dalam wawancara tersebut, Rudy Wiratama, S.I.P.,M.A., berharap bahwa perubahan nama Program Studi ini akan menghasilkan lulusan yang memiliki beragam keahlian dan keterampilan agar dapat diterima oleh berbagai lapangan kerja.
“Harapan kami adalah menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian dan keterampilan yang beragam dan dapat diterapkan dalam berbagai lapangan pekerjaan. Selain itu, UGM juga melaksanakan visi dan misi yang dicetuskan oleh Bung Karno sebagai Balai Kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, orang yang masuk UGM tidak hanya diharapkan menjadi individu yang pintar, juga mempertahankan ciri khas sebagai manusia Indonesia yang berbudaya. Caranya seperti apa? Caranya bahwa budaya itu harus dipelajari. Oleh karena itu, kajian budaya menjadi hal yang penting.” ungkap beliau.